Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Diskusi Peradaban

  • Selasa, 18 Januari 2011
  • Berbagi Kesegaran

  • Kiblat Peradaban Islam
    Oleh
    Sudaryono Achmad*

    Dalam lingkup diskusi para  pemikir muslim, ada sebuah pandangan menarik, Kiblatul muslimina fil ibadah Makatulmukarim, wa kiblatul muslimina fil hadarah ya Indonesia, bahwa kiblat ibadah kaum muslim itu Makkah, sedangkan kiblat peradaban adalah Indonesia. Tentu, pandangan ini perlu kita tafsir kembali. Hanya sekedar jargon, atau benar kita punya potensi menuju kearah sana. Namun, sebelum beranjak jauh, yang paling dasar tentu mesti kita pahami dulu apa itu peradaban..?.

    Dr Hamid  Fahmi Zarkasi,  dalam  makalah “workshop pemikiran  ideologis”, Forum Ukhuwah Islamiyah, Jogjakarta (15 April 2007), memaparkan asal usul pengertian tentang peradaban. Istilah ini dari akar kata madana, kemudian lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). 
    Lebih lanjut, Hamid mengelaborasi pemikiran Ibnu Khaldun dalam buku “Muqaddimah”, dimana menurut sosiolog Islam kenamaan ini, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu (1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi (2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer dan (3) kesanggupan berjuang untuk hidup.
    Bagaimana pengertian dan teori peradaban  tersebut kita gunakan untuk memotret kondisi kita, masyarakat Indonesia..?. Jelas, masih jauh dari impian. Kita, rupanya masih belum beranjak dari tidur panjang kita. Lebih-lebih kalau kita melihat bagaimana justru para intelektual kita begitu terpesona dengan pemikiran dan kemajuan Barat. Bukan  mengembangkan pemikiran demi cita-cita peradaban Islam itu sendiri. Wujud nyatanya, bagaimana arus pemikiran liberal Barat (baik dalam bidang ekonomi, politik bahkan agama) begitu kental dan nyaring terdengar di negeri ini. Anehnya, justru didominasi oleh para pemikir dan intelektual yang sempat duduk belajar di bangku institusi perguruan tinggi Islam (STAIN, IAIN, UIN).  Sungguh ironis.
    Kalau kita baca sejarah umat Islam dimana pernah mencapai puncak kejayaan,  memang sangat terbuka dengan  pemikiran Asing. Lihat saja, di zaman kekhalifahan Bani Umayyah, para pemikir muslim begitu giat menterjemahkan buku-buku karya pemikir Yunani (karya Aristoteles, Plato, Hippocrates dsb). Mereka tak hanya sekedar menterjemahkan saja, tetapi mengkaji teks-teks yang ada, memberi komentar dan  mengkomunikasikan dengan pemikiran Islam. Dan, mereka tak larut dalam pemikiran asing itu.  Kerja intelektual mereka akhirnya memunculkan pemikiran baru. Nah, bagaimana dengan kondisi para pemikir muslim sekarang. Alih-alih digunakan untuk mengembangkan pemikiran demi kemajuan Islam, yang terjadi justru sebaliknya, menghancurkan sendi-sendi bangunan Islam itu sendiri.
    Saya kira, lewat titik inilah kita berangkat.  Berjuang lewat pemikiran. Satu hal yang perlu menjadi pijakan, bahwa pengkajian pemikiran Islam yang bersandar pada Al-Quran harus kita mulai dari sebuah keyainan. Bahwa teks Al-Quran itu benar. Bukan bersandar pada sebuah keragu-raguan. Berawal dari sinilah kita bisa menggali lebih dalam hikmah, mengkontekskan ajaran Islam untuk memotret fenomena sosial, mengembangkan sains dan teknologi. Praksisnya, kita perlu komunitas-komunitas intelektual yang secara periodik memberikan perspektif pemikiran dalam kerangka membangun peradaban Islam di negeri ini, komunitas INSIST (Hamid Zarkasi, Adian Husaeni, Ugi Suharto, Anis Malik dll) telah memulainya. Atau di ranah sains, kader ilmuwan, para Doktor lulusan Jepang juga memperlihatkan semangat yang sama.  Langkah yang bagus. Inilah kerja intelektual muslim. Kerja yang panjang. 
    Memang harus kita akui, dominasi pemikiran liberal kini begitu menggurita. Namun, yang perlu kita kembangkan-demi produktifitas intelektual- tentu bukan melulu mengeluarkan energi intelektual yang terlalu banyak untuk mengcounter pemikiran sesat liberal. Justru, kita perlu serius menawarkan pemikiran Islam yang benar-benar mengakar sesuai syariat, membumi, dan aplikatif bagi kemajuan umat  baik sosial maupun sains dan teknologi, bukan justru membingungkan dan merusak sendi dan pokok ajaran Islam.  Demikianlah apa yang mesti kita lakukan. 
    Kalau kita sepakat dengan Ibnu Khaldun, kerja perwujudan peradaban lewat pemikiran saja tak cukup. Memang harus ada, tapi tak semua harus berada dalam ranah itu. Kalau kita kembangkan, perlu sinergis dengan kerja-kerja keorganisasian (pemerintahan, birokrasi, parlemen, militer) dan tentunya bidang kemandirian usaha bahkan kebudayaan. Akhirnya sekarang,  pertanyaannya bukan lagi kita  berada diranah mana (anggap kita telah menempati salah satu ranah), tapi sejauhmana kerja-kerja peradaban ini kita lakukan dengan serius. Kiblat peradaban Islam akan tercapai sejauhmana produktifitas kerja kita hari ini. Semoga.


    0 komentar:

    Posting Komentar