Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Deprivatization

  • Selasa, 15 Februari 2011
  • Berbagi Kesegaran
  • Written by Hamid Fahmy Zarkasyi

     

    Ketika Ahmadiyah ditolak oleh umat Islam Indonesia dan ketika Saksi Jehovah ditolak oleh umat Katholik dan Protestan, negara ikut campur menjadi wasit. Ketika gelombang penistiaan agama menyeruak di Amerika, pemerintah negara bagian Massachusetts di Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang yang menghukum dan mendenda penista agama. Pada saat Taslima Nasrin di Bangladesh menulis di koran The Statesman  (tahun 1994) ”…al-Qur’an harus direvisi secara menyeluruh” negara memfonis hukuman mati. 
    Empat tahun kemudian, Ghulam Akbar, menghina Nabi Muhammad dan segera dihukum mati. Tahun 2000 kelakuan Ghulam Akbar ditiru oleh Abdul Hasnain Muhammad Yusuf Ali pengadilan pemerintah propinsi Lahore memutuskan pun hukuman mati. Di Mesir seorang yang mengaku Nabi langsung dihukum mati dan selesai. Disini kisah-kisah itu membuktikan peran negara dalam menyelesaikan konflik agama mutlak perlu dan terus berjalan.
    Bagi penganut sekularisme dan liberalisme kaaffah, negara tidak boleh ngurusi agama dan sebaliknya. Ini harga mati. Sebab agama dianggap sebagai domain pribadi. Privatisasi agama adalah sekularisasi. Sekularisasi telah menjadi tren sosial politik di Barat Eropah sejak abad Pencerahan (1720-1880). Setengah abad yang lalu Smith (1970-76) mendeklarasikan sekularisasi sebagai perubahan struktur dan ideologi yang sangat mendasar dalam proses pengembangan politik dan tren global modernisasi. Acuannya adalah figur-figur ilmuwan sosial abad 19 seperti Marx, Durkheim, Weber dsb. Jadi desakralisasi agama adalah satu paket dengan sekularisasi dan modernisasi masyarakat.
    Ketika itu memang agama telah kehilangan relevansi sosial dan politiknya. Sebab politisi dari para pemuka agama semakin tidak cakap dan malah semakin tiranik. Kekuasaan tidak lagi ditangan agama, tapi ilmu. Dari situlah keluar jargon knowledge is power, ilmu adalah kekuasaan.  Lebih-lebih kalangan gereja menganggap pemisahan itu hampir seperti keniscayaan. Doktrin gereja itu sudah dichotomis “berikan hak kaisar kepada kaisar dan hak tuhan kepada tuhan (Luke 21-25).  Ditambah lagi suasana reformasi politik Eropah pada waktu itu begitu dominan sehingga ketegangan antara gereja dan negara adalah warna sejarah Eropah yang kelam.
    Tapi tahun 1979 setelah terjadi revolusi Iran orang baru sadar bahwa tafsir modernisasi ternyata tidak tunggal dan kaku. Sejak saat itu agama dan politik yang sempat “talak tiga” di Eropah dan negara-negara jajahannya, rujuk kembali. Tapi masih dalam status nikah sirri. Orang mengakui tapi tidak berani terbuka. Tapi kenyataan sosial seperti mendorong kearah sentralisasi agama ke ruang publik.
    Orang, misalnya bertanya-tanya mengapa Perdana Menteri Inggeris, David Cameron mesti sowan Paus Benedict ke XVI. Disitu ia mengungkapkan penyesalannya atas berkembangnya kultur relativisme dan sekularisme di Barat. Ia juga menghargai sikap Paus yang menurutnya telah menggugah semua negara untuk bangkit dan berfikir melawan itu.
    Di Amerika  tahun 60 an JF Kennedy menyatakan bahwa agama dan keyakinan Presiden adalah urusan pribadi dan tidak bisa diberlakukan kepada bangsa dan sebaliknya. 50 tahun kemudian senator Pennsylvania Rick Santorum menyanggahnya. Dalam kuliahnya  di the University of St. Thomas, ia tegaskan pemisahan gereja dan negara secara mutlak bukan dan tidak pernah menjadi model Amerika. Itu hanya model yang dipakai oleh negara-negara seperti Perancis dan Turkey, tapi tidak laku di Amerika, kecuali setelah Hakim Hugo Black melempar hal ini kedalam wacana publik.  
    Jeff Haynes, professor pada Department of Politics and Modern History di University of London, mencoba menganalisa. Ormas keagamaan menjadi aktor politik karena agama merasa terancam oleh kebijakan-kebijakan sekuler. Fenomena ini tersebar luas dan perlu kajian secara kasus per kasus. Konsekuensi dari intervensi itu bisa bermacam-macam. Agama terkadang menjadi sangat berperan dalam rekayasa politik.  Demokrasi di Amerika Latin dan Eropah Timur tahun 80 an tidak lepas dari peran gereja Katholik.
    Jika Jeff diminta komentar revolusi di Mesir baru-baru ini, ia pasti melihat peran agamawan Islam maupun Kristen Coptic sangat besar. Salat Jamaah para pendemo dan doa para pemimpin Coptic di Lapangan Tahrir adalah no comment new. Kesuksesan menumbangkan Hosni Mubarak dirayakan dengan sujud syukur, bukan dengan minum-minum atau dansa-dansi. Disitu agama menjadi etos kerja pendemo.
    Fenomena yang disebut Jeff terjadi di Inggeris. Disana agama mulai menolak menjadi urusan pribadi. Gereja-gereja Katholik muncul kembali membawa suara moral, sosial dan bahkan politik.  Pada tahun 1996 misalnya mereka menyebarkan pamflet berjudul The Common Good and the Catholic Church’s Social Teaching. Pamflet itu adalah intervensi gereja terhadap konflek antara partai Buruh dan Konservatif. Menurut klaim mereka ini adalah kekuatan spiritual agama dan juga relevansi agama Katholik dengan demokrasi liberal, pluralisme, dan ekonomi pasar.
    Memang dalam soal hubungan negara dan gereja Kristen berbeda dari Islam. Dalam Islam masjid bukan gereja dan tidak punya otoritas. Maka, sebenarnya, menurut P. J. Vatikiotis,  (Lihat Islam and the State) apa yang dituntut gereja sebagai komunitas moral, penjaga hukum Tuhan, institusi kependetaan dan sekaligus komunitas politik lebih cocok dituntut oleh orang Islam. Hidup dalam worldview Islam sebagai realitas fisik adalah ekspresi kehendak Tuhan.
    H. Dabashi (dalam T. Robbins & R. Robertson (eds.), Church-State Relations), bahkan tegas menyatakan “tidak ada dalilnya dalam Islam yang memisahkan kesalehan dengan politik, keduanya adalah perintah Tuhan. Meskipun dalam Islam otoritas agama dan politik dapat dipisahkan menjadi dua institusi sosial yang berdiri sendiri-sendiri, namun keduanya selalu berhuhungan. Jadi yang masih membela privatisasi agama jelas set back setengah abad atau bahkan tiga abad. Kini agama telah berubah dari interest pribadi menjadi publik, dari urusan institusi menjadi konstitusi. Itulah makna deprivatisasi agama yang akan terus dilawan oleh liberalisasi dan postmodernisasi. Wallahu a’lam

    Lima Konsep Islamisasi sains

  • Jumat, 28 Januari 2011
  • Berbagi Kesegaran

  • Istilah “Islamisasi sains” sudah pernah nyaring bergema di Indonesia pada era 1980-an. Tapi, kemudian redup, sejalan dengan ketidakjelasan konsep dan pengembangannya. Bahkan, sering timbul kesalahpahaman.
    Apa sebenarnya “Islamisasi sains?”
    Secara umum, ada lima arus utama wacana Islamisasi sains. Pertama, Islamisasi sains dengan pendekatan instrumentalistik, yaitu pandangan yang menganggap ilmu atau sains hanya sebagai alat (instrumen). Artinya, sains terutama teknologi sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan sifat dari sains itu sendiri selama ia bermanfaat bagi pemakainya.
    Pendekatan ini muncul dengan asumsi bahwa Barat maju dan berhasil menguasai dunia Islam dengan kekuatan sains dan teknologinya. Karena itu, untuk mengimbangi Barat, kaum Muslim harus juga menguasai sains dan teknologi. Jadi, Islamisasi di sini adalah bagaimana umat Islam menguasai kemajuan yang telah dikuasai Barat.

    Islamisasi sains dengan pendekatan ini sebenarnya tidak termasuk dalam islamisasi sains yang hakiki. Banyak muslim yang ahli sains, bahkan meraih penghargaan dunia, namun tidak jarang dia makin jauh dari Islam. Meski demikian, pendekatan ini menyadarkan umat untuk bangkit melawan ketertinggalan dan mengambil langkah mengembangkan sains dan teknologi.
    Kedua, Islamisasi sains yang paling menarik bagi sebagian ilmuwan dan kebanyakan kalangan awam adalah konsep justifikasi. Maksud justifikasi adalah penemuan ilmiah modern, terutama di bidang ilmu-ilmu alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat Al-Quran maupun Al-Hadits. Metodologinya adalah dengan cara mengukur kebenaran al-Qur’an dengan fakta-fakta objektif dalam sains modern.
    Tokoh paling populer dalam hal ini adalah Maurice Bucaille. Menurut dokter asal Perancis ini, penemuan sains modern sesuai dengan al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an, kitab yang tertulis 14 abad yang lalu, adalah wahyu Tuhan, bukan karangan Muhammad. Ilmuwan lain yang mengembangkan Islamisasi dengan pendekatan justifikasi ini adalah Harun Yahya, Zaghlul An-Najjar, Afzalur Rahman dll. Namun, konsep ini menuai banyak kritik, misalnya dari Ziauddin Sardar yang mengatakan bahwa legitimasi kepada al-Quran dalam kerangka sains modern tidak diperlukan oleh Kitab suci.
    Meskipun bukan termasuk dalam kategori Islamisasi sains yang hakiki, pendekatan konsep ini sangat efektif mudah diterima oleh banyak Muslim serta meningkatkan kebanggaan mereka terhadap Islam. Namun demikian proses tersebut tidak cukup dan harus dikembangkan ke dalam konsep yang lebih mendasar dan menyentuh akar masalah kemunduran umat.
    Ketiga, konsep Islamisasi sains berikutnya menggunakan pendekatan sakralisasi. Ide ini dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr. Baginya, sains modern yang sekarang ini bersifat sekular dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas sehingga perlu dilakukan sakralisasi. Nasr mengritik sains modern yang menghapus jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam bukan lagi dianggap sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas yang berdiri sendiri. Ia bagaikan mesin jam yang bekerja sendiri.
    Ide sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan proses islamisasi sains yang lain dalam hal mengkritisi sains sekular modern. Namun perbedaannya cukup menyolok karena menurut Nasr, sains sakral (sacred science) dibangun di atas konsep semua agama sama pada level esoteris (batin). Padahal Islamisasi sains seharusnya dibangun di atas kebenaran Islam. Sains sakral menafikan keunikan Islam karena menurutnya keunikan adalah milik semua agama. Sedangkan islamisasi sains menegaskan keunikan ajaran Islam sebagai agama yang benar. Oleh karena itu, sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep Islamisasi jika nilai dan unsur kesakralan yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai Islam.
    Keempat, Islamisasi sains melalui proses integrasi, yaitu mengintegrasikan sains Barat dengan ilmu-ilmu Islam. Ide ini dikemukakan oleh Ismail Al-Faruqi. Menurutnya, akar dari kemunduran umat Islam di berbagai dimensi karena dualisme sistem pendidikan. Di satu sisi, sistem pendidikan Islam mengalami penyempitan makna dalam berbagai dimensi, sedangkan di sisi yang lain, pendidikan sekular sangat mewarnai pemikiran kaum Muslimin. Mengatasi dualisme sistem pendidikan ini merupakan tugas terbesar kaum Muslimin pada abad ke-15 H.
    Al-Faruqi menyimpulkan solusi dualisme dalam pendidikan dengan islamisasi ilmu sains. Sistem pendidikan harus dibenahi dan dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan jiwa Islam dan berfungsi sebagai bagian yang integral dari paradigmanya. Al-Faruqi menjelaskan pengertian Islamisasi sains sebagai usaha yaitu memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sehingga disiplin-disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita Islam.
    Kelima, konsep Islamisasi sains yang paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan sains adalah Islamisasi yang berlandaskan paradigma Islam. Ide ini yang disampaikan pertama kali secara sistematis oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas.
    Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslim adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis yang berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Oleh karena itu islamisasi sains dimulai dengan membongkar sumber kerusakan ilmu. Ilmu-ilmu modern harus diperiksa ulang dengan teliti.

    Itu sebabnya al-Attas mengartikan Islamisasi sebagai, ”Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekular terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya...Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya...” (Islam dan Sekularisme, 2010).
    Oleh karena dalam hal ini ada dua cara metode Islamisasi yang saling berhubungan dan sesuai urutan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.

    Dengan demikian Islamisasi sains akan membuat umat Islam terbebaskan dari belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Tujuannya adalah wujudnya keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya (fitrah). Islamisasi melindungi umat Islam dari sains yang menimbulkan kekeliruan dan mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya.  Oleh karena itu islamisasi sains tidak bisa tercapai hanya dengan menempeli (melabelisasi) sains dengan prinsip Islam. Hal ini hanya akan memperburuk keadaan selama "virus"nya masih berada dalam tubuh sains itu sendiri.
    Jadi, Islamisasi sains tidak sesederhana, misalnya, tidak sekedar menyalakan lampu dengan terlebih dahulu membaca basmalah. Islamisasi sains adalah sebuah konsep dasar yang berkaitan dengan worldview seorang muslim untuk mengembalikan Islam menuju peradaban dunia yang berjaya. (***)

    Jiwa Manusia Menurut Fakhruddin Al-Razi

  • Berbagi Kesegaran
  • Imam Fakhruddin al-Razi (m. 1210 M) dikenal sebagai seorang ulama besar yang ensiklopedis, menguasai berbagai bidang keilmuan secara mendalam. Ia seorang mufassir al-Qur’an terkemuka. Ia juga pakar dalam bidang kedokteran, logika, matematika, dan fisika. Ia menulis kurang lebih dari dua ratus judul buku. Beberapa judul pun berjilid-jilid. Tulisannya tentang jiwa manusia terurai paling sedikit dalam tiga karyanya. Pertama, tentunya dalam Tafsir Besar-nya (al-Tafsir al-Kabir). Kedua, bukunya yang berjudul Kitab al-Nafs wa al-Ruh wa Syarh Quwahuma. (Buku Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap Kedua Potensinya). Ketiga,  tulisannya yang lebih menukik, terdapat dalam magnum opus-nya (karya besar), yang berjudul al-Matalib al-’Aliyah fi  al-’Ilm al-Ilahi (Kesimpulan-Kesimpulan Puncak dalam Ilmu Ketuhanan). Buku ini terdiri dari 9 jilid.
    Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang unik. Keunikannya ada pada karakteristiknya yang khas. Manusia memang beda dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Bagi Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Ini membedakan manusia bukan hanya dengan binatang dan tumbuhan, tapi juga dengan malaikat. Dalam kajian psikologi Barat, perbandingan manusia dengan malaikat dan setan tentunya tidak ditemukan.
    Menurut al-Razi, malaikat hanya memiliki akal dan hikmah, tanpa tabiat dan hawa nafsu. Karena itu, malaikat selalu ber-tasbih, ber-tahmid dan melakukan taqdis. (QS 16:50; 66:6: 21:21). Malaikat juga tidak akan mengingkari perintah Allah Ta’ala karena memang tidak memiliki hawa nafsu. Sebaliknya, binatang dan tumbuh-tumbuhan memiliki tabiat dan nafsu, namun tidak memiliki akal serta hikmah. Berbeda dengan malaikat, binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia memiliki kesemua karakteristik tersebut, yaitu akal, hikmah, tabiat dan hawa nafsu.
    Karakteristik berbeda menyebabkan sifat juga berbeda. Bagi al-Razi, malaikat selalu memiliki kesempurnaan karena tidak punya hawa nafsu dan tabiat. Sebaliknya, binatang selalu memiliki kekurangan karena tidak punya akal dan hikmah. Nah, manusia ada di antara keduanya. Manusia memiliki akal dan hikmah, tapi manusia juga punya hawa nafsu dan tabiat. Karena ke-empat karakteristik tersebut, maka manusia  memiliki sifat kekurangan dan kelebihan. Jika manusia menggunakan akal dan hikmah untuk mengatur hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk ciptaan Allah lainnya.  Dengan menggunakan akal -- dan hikmah yang bersumber dari ajaran agama -- untuk menundukkan hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan menjadi khalifah Allah di bumi, sekaligus akan menjadi makhluk yang paling mulia. Sebaliknya, jika tabiat dan hawa nafsu yang menguasai diri dan akalnya, maka ia akan lebih hina dari binatang, yang memang tidak punya akal dan hikmah.

    Jiwa Manusia
    Menurut Fakhruddin al-Razi, jiwa manusia memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan tertinggi adalah tingkat yang menghadap ke alam ilahi (al-sabiqun, al-muqarrabun). Tingkatan ini dapat diraih hanya jika manusia mau melakukan praktek spiritual (al-riyadiyah al-ruhaniah) dengan istiqamah. Tingkatan berikutnya adalah tingkatan pertengahan (ashab al-maymanah, al-muqtasidun). Untuk mencapai tingkat kedua ini, diperlukan ilmu akhlak (ilm al-akhlaq). Tingkatan paling rendah adalah jiwa manusia yang sibuk mencari kesenangan kehidupan duniawi, (ashab al-shimal, al-dhalimun).
    Fakhruddin al-Razi juga menyatakan bahwa ada tiga jenis jiwa manusia. Pertama, al-Nafs al-Mutmainnah (al-Fajr, 89: 27), yaitu jiwa yang tenang, jiwa yang penuh dengan kehidupan spiritualitas dan kedekatan dengan Tuhan. Kedua adalah al-Nafs al-lawwamah (al-Qiyamah 75: 2). Ketiga adalah al-Nafs al-Ammarah bi al-su’ (Yusuf, 12: 53), adalah jiwa yang selalu mengarahkan manusia kepada keburukan.
    Fakhruddin al-Razi membedakan jiwa dengan tubuh. Menurutnya, jiwa bukanlah struktur lahiriah yang bisa dilihat secara inderawi (Ghayr al-bunyah al-zahirah al-mahshushah). Fakhruddin al-Razi membuktikan pendapatnya dengan akal dan wahyu. Adapun bukti akal sebagai berikut. Pertama, jiwa adalah satu. Oleh sebab itu, jiwa berbeda dengan tubuh dan  bagian-bagiannya. Bahwa jiwa adalah satu,  dapat dibuktikan secara spontan dan intuitif (a priori) dan bisa juga dengan bukti empiris (a posteriori). Spontan,  karena ketika seorang mengatakan “aku/saya”, maka “aku/saya” merujuk kepada satu esensi (zat) yang khusus, dan tidak banyak.
    Jiwa bisa juga dibuktikan secara empiris, yang  berbeda dengan tubuh dan bagian-bagian tubuh: (a) Jiwa bukanlah himpunan bagian-bagian tubuh karena penglihatan tidak menghimpun seluruh kerja tubuh. (b)  Jiwa juga tidak identik dengan bagian dari tubuh karena tidak ada dari bagian tubuh yang meliputi semua kerja tubuh. (c) Jika kita melihat sesuatu, kita mengetahuinya, setelah itu menyukainya ataupun membencinya, mendekatinya ataupun menjauhinya. Jika penglihatan adalah sesuatu, dan pengetahuan adalah sesuatu yang lain, maka yang melihat tidak akan mengetahui. Padahal, ketika saya melihat, saya mengetahui. Jadi, esensi dari penglihatan dan pengetahuan adalah satu. (d)  Semua bagian tubuh adalah alat untuk jiwa. Jiwa melihat dengan mata, berfikir dengan otak, berbuat dengan hati, merasa dengan kulit, dan seterusnya.
    Lalu, apa ”jiwa” itu? Fakhruddin al-Razi menggambarkan hakikat jiwa sebagai substansi yang berbeda dengan tubuh. Jiwa juga terpisah secara esensial dengan tubuh. Namun jiwa terhubungkan dengan tubuh dengan hubungan kerja dan administrasi (dzat al-nafs jawhar mughayir laha mufariq ‘anha bi al-dhat muta’alliq biha tasarruf wa al-tadbir).
    Setelah menyebutkan bukti-bukti akal, Fakhruddin al-Razi menyebutkan banyak ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa jiwa bukanlah tubuh. Firman Allah, misalnya, dalam Surah Ali Imran ayat 169 yang artinya: ”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS 3: 169). Jadi, jiwa bukan tubuh, karena sekalipun badan mereka telah gugur, namun jiwa mereka tetap hidup. Begitu juga disebutkan dalam al-Quran Surah Al-Mu’minun 40:46; Nuh 71: 25; Al-An’am: 93.
    Pemikiran Fakhruddin al-Razi bahwa jiwa – dan bukan tubuh --  yang mengatur tubuh sangat penting untuk direnungkan. Kita mungkin banyak menghabiskan uang untuk berobat, merawat kesehatan badan, menjaga tubuh dengan membeli berbagai produk kesehatan dan kosmetika, dan membeli pakaian dengan berbagai merek, model dan bentuk. Jika tidak menghabiskan banyak uang untuk keperluan dan keinginan tersebut, setiap hari kita mandi untuk membersihkan tubuh kita. Namun, apakah jiwa yang justru mengatur tubuh kita juga dibersihkan,  diobati, dirawat dan dihiasi?
    Manusia bisa saja memiliki tubuh bersih namun berjiwa kotor. Jadi, jiwa tidak selalu tergantung kepada penampilan tubuh. Kita berharap memiliki jiwa yang sehat dengan tubuh yang sehat. Jiwa yang tenang akan dapat diraih dengan mempelajari serta mengamalkan ibadah dan akhlak secara berkelanjutan. Inilah jiwa yang sehat, jiwa yang selalu mengingat Allah dan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

    Nafs

  • Berbagi Kesegaran
  • Manusia bagi Karl Marx disetir oleh perutnya (ekonomi) dan bagi Sigmund Freud oleh libido seksnya alias kemaluannya. Ketika berhijrah di abad ke 7 M, Nabi sudah menyinggung temuan Marx dan Freud. Orang berhijrah itu disetir oleh tiga orientasi : seks, materi dan idealisme atau keimanan (lillah wa rasulihi). Artinya, manusia itu bisa jadi seharga dorongan perutnya, atau dorongan seksualnya dan dapat menjadi sangat idealis, meninggalkan kedua dorongan jiwa hewani dan nabati itu.
    Jadi semua perilaku manusia hakekatnya disetir oleh jiwa atau nafs-nya. Tapi nafs mempunyai banyak anggota, yang oleh al-Ghazzali disebut tentara hati (junud al-qalbi). Anggota nafs dalam al-Qur’an diantaranya adalah qalb (hati), ruh (roh), aql (akal) dan iradah (kehendak) dsb. Al-Qur’an menyebut kata nafs sebanyak 43 kali, 17 kali kata qalb-qulub, 24 kali kata ta’aqilun (berakal), dan 6 kali kata ruh-arwah. Itulah, modal manusia untuk hidup di dunia.
    Nabi menjelaskan peran qalb dalam hidup manusia. Menurutnya, aspek penentu hakekat manusia adalah segumpal darah (mudghah), yang disebut qalb.  Gumpalan itulah yang menjadi penentu kesalehan dan kejahatan jasad manusia (HR. Sahih Bukhari). Karena begitu menentukannya fungsi qalb itulah Allah hanya melihat qalb manusia dan tidak melihat penampilan dan hartanya. (HR. Ahmad ibn Hanbal).  Sejatinya, qalb adalah wajah lain dari nafs, maka dari itu qalb atau nafs manusia itu bertingkat-tingkat. Para ulama menemukan tujuh tingkatan nafs dari dalam al-Qur’an:
    Pertama, nafs al-ammarah bi al-su’, atau nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat nafs paling rendah yang melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat, ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus diperangi.  Kedua, nafs al-lawwamah. Ini adalah nafs yang memiliki tingkat kesadaran awal melawan nafs yang pertama. Dengan adanya bisikan dari qalb-nya, nafs menyadari kelemahannya dan kembali kepada kemurniannya. Jika ini berhasil maka ia akan dapat meningkatkan diri kepada tingkat diatasnya.
    Tingkat ketiga adalah Nafs al-Mulhamah atau jiwa yang terilhami. Ini adalah tingkat jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika nafs ini merasa terpuruk kedalam kenistiaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya.  Keempat, Nafs al-mutma’innah atau jiwa yang tenang. Jiwa ini telah mantap imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor duakan nikmat materi.
    Kelima, Nafs al-Radhiyah atau jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku). Keenam, Nafs al-Mardhiyyah, adalah jiwa yang berbahagia. Tidak ada lagi keluhan, kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnya tidak lagi bergejolak dominan.  Ketujuh, Nafs al-Safiyah adalah jiwa yang tulus murni. Pada tingkat ini seseorang dapat disifati sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna. Jiwanya pasrah pada Allah dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya. Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.
    Begitulah jiwa manusia. Ada pergulatan antara jiwa hewani yang jahat dengan jiwa yang tenang. Ada peningkatan pada jiwa-jiwanya yang tenang itu. Sahabat Nabi Sufyan al-Thawri pernah mengatakan bahwa dia tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih kuat dari nafsunya; terkadang nafsu itu memusuhinya dan terkadang membantunya. Ibn Taymiyyah menggambarkan pergulatan itu bersumber dari dua bisikan: bisikan syetan (lammat a-syaitan) dan bisikan malaikat )lammat al-malak).
    Perang melawan nafsu jahat banyak caranya. Sahabat Nabi Yahya ibn Mu’adh al-Razi memberikan tipsnya. Ada empat pedang untuk memerangi nafsu jahat: makanlah sedikit, tidurlah sedikit, bicaralah sedikit dan sabarlah ketika orang melukaimu… maka nafs atau ego itu akan menuruti jalan ketaatan, seperti penunggang kuda dalam medan perang. Memerangi nafsu jahat ini menurut Nabi adalah jihad. Sabdanya “Pejuang adalah orang yang memperjuangkan nafs-nya dalam mentaati Allah”  (al-Mujahidu man jahadi nafsahu fi ta’at Allah ‘azza wa jalla). (HR.Tirmidhi, Ibn Majah, Ibn Hibban, Tabrani, Hakim dsb).
    Kejahatan diri dalam al-Qur’an juga dianggap penyakit (QS 2:10). Sementara Nabi mengajarkan bahwa setiap penyakit ada obatnya. Para ulama pun lantas berfikir kreatif. Ayat-ayat dan ajaran-ajaran Nabi pun dirangkai diperkaya sehingga membentuk struktur pra-konsep. Dari situ menjadi struktur konsep dan akhirnya menjadi disiplin ilmu.
    Ilmu tentang jiwa atau nafs itu pun lahir dan disebut Ilm-al Nafs, atau Ilm-al Nafsiyat (Ilmu tentang Jiwa). Ketika Ilmu al-Nafs berkaitan dengan ilmu kedokteran (tibb), maka lahirlah istilah al-tibb al-ruhani (kesehatan jiwa) atau tibb al-qalb (kesehatan mental). Tidak heran jika penyakit gangguan jiwa diobati melalui metode kedokteran yang dikenal dengan  istilah al-Ilaj al-nafs (psychoteraphy).
    Dalam Ilmu al-Nafs ditemukan bahwa raga dan jiwa berkaitan erat, demikian pula penyakitnya. Psikolog Muslim asal Persia Abu Zayd Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), menemukan teori bahwa penyakit raga berkaitan dengan penyakit jiwa. Alasannya, manusia tersusun dari jiwa dan raga. Manusia tidak dapat sehat tanpa memiliki keserasian jiwa dan raga. Jika badan sakit, jiwa tidak mampu berfikir dan memahami, dan akan gagal menikmati kehidupan. Sebaliknya, jika nafs atau jiwa itu sakit maka badannya tidak dapat merasakan kesenangan hidup. Sakit jiwa lama kelamaan dapat menjadi sakit fisik. Itulah sebabnya ia kecewa pada dokter yang hanya fokus pada sakit badan dan meremehkan sakit mental. Maka dalam bukunya Masalih al-Abdan wa al-Anfus, ia mengenalkan istilah al-Tibb al-Ruhani (kedokteran ruhani).
    Jadi, hakekatnya manusia yang dikuasai oleh dorongan nafsu hewani dan nabati saja, boleh jadi sedang sakit. Manusia sehat adalah manusia yang nafsunya dikuasai oleh akalnya, qalb-nya untuk taat pada Tuhannya. Itulah insan kamil yang memiliki jiwa yang tenang, yang kembali pada Tuhan dan masuk surganya dengan ridho dan diridhoi. Itulah manusia yang selama hidupnya menjadi sinar cahaya (misykat) bagi umat manusia. 

    Profil Psikolog Muslim: Abu Zaid al-Balkhi

  • Berbagi Kesegaran

  • Abu Zayd al-Balkhi (235H-322H/849M-934M) yang memiliki nama asli Ahmad ibn Sahl adalah pakar multi disiplin ilmu pengetahuan (polymath). Muhammad ibn Ishaq Abul Faraj al-Nadim atau lebih dikenal dengan Ibn al-Nadim, dalam kitabnya al-Fihrist menyebutkan bahwa al-Balkhi memiliki 41 karya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Diantaranya di bidang 'Ulum al-Qur'an, Kalam, matematika, geografi, kedokteran, ilmu jiwa, perbandingan agama, politik, sejarah, linguistik, astronomi, sastera dan filsafat. Namun dari karya-karyanya itu, hanya dua kitab yang sampai pada kita, kitab suwar al-aqalim di bidang geografi dan masalih al-abdan wa l-anfus di bidang psikologi.
    Al-Balkhi lahir di Syamistiyan, wilayah Balkh (Bactra) dan kini berada di Afghanistan. Ayahnya adalah seorang guru anak-anak. Al-Balkhi tumbuh dewasa dan tinggal di Baghdad selama 8 tahun, di saat kekuasaan Daulah Abbasiyah sudah merosot dan hanya meliputi Baghdad dan sekitarnya. Pada masanya timbul kekacauan politik, sehingga kerusuhan bermunculan di mana-mana.
    Namun demikian, kondisi negara yang carut marut di zaman al-Balkhi bukanlah penghalang bagi para ulama untuk mendedikasikan umurnya dalam melanjutkan tradisi ilmu. Bahkan dalam suasana seperti itu bermunculan sejumlah cendekiawan, di antaranya adalah Abu Zayd al-Balkhi.
    Al-Balkhi adalah intelektual muslim yang memperkenalkan psikologi Islam dan neuroscience, yakni cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan anatomi, fisiologi, biokimia, atau biologi molekul jaringan saraf, khususnya yang berkaitan langsung dengan perilaku dan pengetahuan.
    Di samping itu, dia juga terkenal sebagai tokoh yang pertamakali menemukan psikologi kognitif dan medis (cognitive and medical psychology). Dialah  orang yang pertamakali membedakan antara sakit saraf (neurosis) dan sakit jiwa (psychosis), serta orang yang pertamakali mengklasifikasikan gangguan saraf (neurotic disorders) dan perintis terapi kognitif (cognitive therapy) dalam rangka mengkaji pengelompokan gangguan penyakit ini.
    Psikologi kognitif (cognitive psychology) adalah cabang ilmu psikologi yang menyelidiki proses kejiwaan internal, seperti penyelesaian masalah, daya ingatan dan bahasa. Sedangkan psikologi medis (medical psychology) berarti merujuk pada keahlian praktik pengobatan klinik ahli psikologi. Sementara terapi kognitif (cognitive therapy) adalah pendekatan psikoterapi yang bertujuan mempengaruhi gangguan emosi, perilaku dan kesadaran melalui prosedur yang sistematis.
    Al-Balkhi mengelompokkan penyakit saraf dalam empat gangguan kondisi mental-kejiwaan, yaitu ketakutan dan kegelisahan (fear and anxiety), amarah dan penyerangan (anger and aggression), kesedihan dan depresi (sadness and depression), serta obsesi atau gangguan pikiran (obsession).
    Lebih lanjut al-Balkhi menggolongkan tiga jenis depresi, yaitu depresi normal atau kesedihan, depresi yang berasal dari dalam tubuh dan depresi yang berasal dari luar tubuh.  Individu yang sehat harus selalu menjaga kesehatan pikiran dan perasaan. Maka menurutnya,  keseimbangan antara pikiran dan tubuh sangat diperlukan untuk memperoleh kesehatan yang prima. Sebaliknya ketimpangan antara keduanya justru akan menimbulkan penyakit. Di samping itu, dia juga memperkenalkan konsep pengobatan yang berlawanan (al-'ilaj bi l-dhid, reciprocal inhibition), di mana konsep ini dikenalkan kembali ribuan tahun kemudian oleh Joseph Wolpe di tahun 1969.
    Konsep kesehatan mental dan mental individu, menurutnya,  selalu berhubungkait dengan kesehatan spiritual. Dia adalah orang yang pertamakali berhasil mengkaji bermacam-macam penyakit yang secara langsung mempunyai keterkaitan antara fisik dan jiwa, seperti yang diulasnya dalam kitabnya Masalih al-Abdan wa al-Anfus (Asupan Badan dan Jiwa).  Al-Balkhi menggunakan istilah al-Tibb al-Ruhani (pengobatan spiritual) untuk menggambarkan kesehatan jiwa, sedangkan untuk menjelaskan pengobatan mental, digunakannya istilah Tibb al-Qalb (pengobatan kalbu).
    Al-Balkhi sering mengkritik dokter-dokter di zamannya karena selalu memfokuskan perhatian mereka pada penyakit fisik saja dan mengabaikan penyakit mental dan kejiwaan para pasiennya. Dia berargumen bahwa dikarenakan konstruksi manusia terdiri dari jasmani dan rohani, maka keberadaannya tidak bisa dikatakan sehat tanpa adanya keterjalinan (isytibak) antara jiwa dan badan. Lebih lanjut dia katakan: "Jika badan sakit, jiwa pun akan banyak kehilangan kemampuan kognitifnya dan tidak bisa merasakan kenikmatan hidup". Sebaliknya dia juga menjelaskan "Jika jiwa sakit, badan pun kehilangan keceriaan hidup dan bahkan badannya pun bisa jatuh sakit".
    Pemikirannya tentang kesehatan mental, digalinya dari al-Qur'an dan Sunnah. Di antaranya adalah QS. 2:10, "Dalam hati mereka ada penyakit". Dan Sabda Nabi: "Ketauhilah! Sesungguhnya dalam badan manusia itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka seluruh badannya akan baik. Tetapi jika ia rusak, maka rusaklah seluruh badannya. Ketauhilah bahwa ia (segumpal daging) itu adalah kalbu". (HR. al-Bukhari)

    Kitab Mashalih al-Abdan wa l-Anfus
    Kitab ini membahas tema-tema yang berkenaan dengan kesehatan badan dan jiwa. Kitab Mashalih yang manuskripnya tersimpan di Istambul ini terdiri dari dua bab, yakni Mashalih al-abdan yang mencakup 14 bagian dan masalih al-anfus yang mencakup 8 bagian. Karya ini tergolong penting, mengingat ia adalah karya pertama yang membahas utuh masalah kesehatan. Di samping itu, tema pembahasannya sangat komprehensif, kaya nilai ilmiah dan sistematis.
    Dalam penulisannya, al-Balkhi menggunakan metode deduktif (al-manhaj al-istidlali), kausalitas (sababiyyah), terapan, eksperimen dan metode instruksional. Penggunaan metode pembahasan yang integral dengan wahyu, terlihat jelas saat dia tidak hanya mencukupkan kajiannya pada fenomena alam secara empiris, tapi berlanjut pada pembacaan hikmah yang tersembunyi di baliknya. Menurutnya, Sunnatullah berlaku umum untuk semua makhluk-Nya. Dengan demikian al-Balkhi telah membawa teori integral yang disertai penjelasan faktor-faktor kausalitas tentang gangguan kejiwaan yang persis sama dengan karya-karya kontemporer.
    Di antara nasehat al-Balkhi yang terkenal, "Kematian adalah keniscayaan, maka janganlah engkau takut padanya. Dan jika engkau takut apa yang akan terjadi setelah kematian, maka perbaikilah dirimu sebelum kematianmu. Takutlah akan kejahatanmu, bukan pada kematianmu!" (la budda minal maut, fa la takhaf minhu, wa in kunta takhaf mimma ba'dal mauti, fa ashlih sya'naka qabla mautika, wa khaf sayyiatika, la mautika).

    Penulis: Elizabeth Diana Dewi, staf  Direktorat Timur Tengah Deplu RI

    Ilmu Tanpa Jiwa

  • Berbagi Kesegaran
  • Pada bulan Desember 2008 lalu,  INSISTS bekerjasama dengan FISIP-UI menggelar sebuah seminar bertajuk “Dewesternisasi Pengetahuan dan Islamisasi Pengetahuan Kontemporer” bertempat di kampus UI Depok. Tampil sebagai pembicara adalah Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara, dan Dr. Khalif Muammar. Ketika itulah, Prof. Mulyadhi, guru besar di UIN Jakarta, memaparkan makalah berjudul “Kritik Terhadap Psikologi Modern”.
    Selama ini, Psikologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa (Kamus Bahasa Indonesia, 2008  atau “the scientific study of the mind and how it influences behaviour” (Oxford Advanced Genie). Pada awalnya pembahasan mengenai jiwa dilakukan pada masa pra-modern, secara spesifik pada masa Yunani Kuno. Jiwa dibahas sebagai sesuatu yang bukan bertempat material dan sesuatu yang abadi. Pembahasan demikian pun dikontraskan dengan deskripsi tentang tubuh sebagai sesuatu yang material dan tidak abadi. Pandangan seperti ini dapat dikenali dari tokoh seperti Phytagoras dan Plato (lihat karya Bertrand Russel Sejarah Filsafat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang).
    Menurut Mulyadhi, memasuki abad ke-20, psikologi memisahkan diri dari filsafat dan menjadi cabang tersendiri dengan menerapkan metode ilmiah empiris sebagai syarat bagi diterimanya psikologi sebagai sains modern.  Di masa inilah mulai bermunculan pelbagai aliran, seperti aliran biologis (neurobiologis), aliran behaviorisme, aliran psikoanalisis,  aliran kognitif, dan aliran humanis.
    Dalam perkembangannya kemudian, bermunculan bermacam kritik. Dengan meletakkan basis psikologi biologis pada otak, misalnya, maka psikologi tidak lagi berbasis jiwa, melainkan berbasis otak. Pandangan materialistik semacam ini, menurut Mulyadhi, merupakan aliran mainstream dari psikologi. Aliran behaviorisme dan psikoanalisis pun memiliki masalah karena psikologi menjadi dipahami dalam arti biologi, dengan terma-terma fisika. Huston Smith (2003: 233) mengatakan bahwa psikologi kognitif mendorong orang kembali pada materialisme mental. Bahkan, lebih jauh lagi, kembali dengan penuh semangat menggebu-gebu yang nyaris tak terkendali.
    Jika pandangan psikologi adalah berbasis pada materi, simpul Mulyadhi Kartanegara, maka disiplin ilmu ini telah melepaskan objek paling inti selama ini dari psikologi, yaitu jiwa. Padahal dari sinilah psikologi mendapatkan namanya (psyche). Berangkat dari kesimpulan Prof. Mulyadhi tersebut, bisa dikatakan, bahwa Psikologi modern adalah “Ilmu Jiwa minus Jiwa” itu sendiri.
    Mengapa bisa begitu?  Akar masalahnya adalah sekularisasi terhadap jiwa, yang akhirnya mengakibatkan penafian keabadian jiwa dan kemudian penafian Hari Akhir. Dalam bukunya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam an Exposition of the          Fundamental Elements of The Worldview of Islam Sekularisasi, (2001),  Prof. Naquib al-Attas,  mendefinisikan Sekularisasi sebagai  “pelepasan manusia pertama kali dari kontrol agama kemudian dari kontrol metafisika dari rasio dan bahasanya”.
    Dengan berbasis kepada materi dan pensekularan jiwa, maka jiwa – yang bernilai tinggi -- telah ditempatkan lebih rendah, direduksi menjadi sekadar efek dari materi (epifenomenal). Apa yang diungkapkan Profesor Mulyadhi menunjukkan hal tersebut. Jiwa yang sebelumnya dipandang lebih tinggi derajatnya dari tubuh, tidak bersifat materi, dan bersifat abadi,  diletakkan dalam martabat yang lebih rendah, yang 180 derajat berlawanan dengan hakikat yang sebenarnya.  
    Berangkat dari fakta penafian “jiwa” dalam Ilmu Jiwa modern, maka muncullah tata-nilai yang serba meterialistik. Gangguan jiwa, misalnya, hanya dikaitkan dengan soal “gangguan syaraf dan gangguan otak”.  Padahal, dalam pandangan Islam, orang yang cinta dunia (hubbud-dunya) bisa dikatakan sebagai orang yang “terganggu jiwanya”. Karena itu,  adalah tugas para ilmuwan Muslim untuk meletakkan “jiwa manusia”  pada tempat yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Wallahu A’lam. (***)

    Psikologi Dalam Islam

  • Berbagi Kesegaran
  • Sejarah keilmuan Islam yang gemilang mencatat tiga corak pendekatan dalam memahami jiwa manusia. Pertama, pendekatan Qur’ani-Nabawi dimana jiwa manusia dipahami dengan merujuk pada keterangan kitab suci al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw. Perbincangannya berkisar sifat-sifat universal manusia (syahwat kepada lawan jenis, properti, uang, fasilitas mewah, takut mati, takut kelaparan, pongah, pelit, korup, gelisah, mudah frustrasi), sebab maupun akibatnya (lupa kepada Allah, kurang berzikir, ikut petunjuk syaitan, tenggelam dalam hawa nafsu, hidup merana dan mati menyesal, di akhirat masuk neraka), dan beberapa karakter jiwa (nafs): yang selalu menyuruh berbuat jahat (ammarah bis-su’), yang senantiasa mengecam (al-lawwamah) dan yang tenang damai (al-mutma’innah). Perspektif ini diwakili oleh tokoh-tokoh semisal Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350). Dalam kitabnya ar-Ruh, misalnya, diterangkan bagaimana ruh menjalar di tubuh manusia yang memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak. Ruh orang mati itu wujud dan merasakan siksa di alam kubur sekalipun jasadnya hancur.   
    Kedua, pendekatan Falsafi dimana pelbagai masalah jiwa dibahas menurut pandangan para filsuf Yunani kuno. Mazhab falsafi ini mulai berkembang pada abad ke-10 Masehi, menyusul penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Para psikolog Muslim pada masa itu banyak dipengaruhi oleh teori-teori jiwa Plato dan Aristoteles. Tak mengherankan, sebab Aristoteles mengupas aneka persoalan jiwa manusia dengan sangat logis dan terperinci. Teori-teorinya tertuang dalam bukunya De Anima (tentang hakikat jiwa dan aneka ragam kekuatannya) dan Parva Naturalia (risalah-risalah pendek mengenai persepsi inderawi dan hubungannya dengan jiwa, daya hapal dan ingatan, hakikat tidur dan mimpi, firasat dan ramalan). Adapun Plato ialah filsuf yang pertama kali melontarkan teori tiga aspek jiwa manusia: rasional (berdaya pikir), animal (hewani), dan vegetatif (berdaya tumbuh).  
    Hampir semua filsuf Muslim yang menulis karya tentang jiwa bertolak dari pandangan Aristoteles. Mulai dari Miskawayh yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq dan Abu Bakr ar-Razi pengarang kitab at-Thibb ar-Ruhani hingga Ibnu Rusyd dan Abu Barakat al-Baghdadi. Menurut mereka, jiwa manusia adalah penyebab kehidupan. Tanpa jiwa, manusia tak berarti apa-apa. Kecuali ar-Razi, semua filsuf percaya bahwa jiwa manusia itu tunggal dan sendiri. Karenanya mereka menolak teori transmigrasi jiwa dari satu tubuh ke tubuh yang lain, seperti dalam kepercayaan agama tertentu. Dalam salah satu kitabnya, Ibnu Sina menegaskan pentingnya penyucian jiwa dengan ibadah seperti shalat dan puasa. Sebab, menurutnya, jiwa yang bersih akan mampu menangkap sinyal-sinyal dari alam ghaib yang dipancarkan melalui Akal Suci (al-‘aql al-qudsi). Kemampuan semacam inilah yang dimiliki oleh para nabi, tambahnya. Jiwa para nabi itu begitu bersih dan kuat sehingga mereka mampu menerima intuisi, ilham dan wahyu ilahi (Lihat: kitab an-Nafs, ed. Fazlur Rahman, hlm 248-50 dan Avicenna’s Psychology, hlm 36-7).   
    Ketiga ialah pendekatan Sufistik dimana penjelasan tentang jiwa manusia didasarkan pada pengalaman spiritual ahli-ahli tasawuf. Dibandingkan dengan psikologi para filsuf yang terkesan sangat teoritis, apa yang ditawarkan para sufi lebih praktis dan eksperimental. Termasuk dalam aliran ini kitab ar-Riyadhah wa Adab an-Nafs karya al-Hakim at-Tirmidzi (w. 898) dimana beliau terangkan kiat-kiat mendisiplinkan diri dan membentuk kepribadian luhur. Menurut Abu Thalib al-Makki (w. 996), jiwa manusia sebagaimana tubuhnya membutuhkan makanan yang baik, bersih, dan bergizi. Jiwa yang tidak cukup makan pasti lemah dan mudah sakit. Semua itu diterangkan beliau dalam kitab Qut al-Qulub (‘nutrisi hati’).
    Tokoh penting lainnya ialah Imam al-Ghazali (w. 1111 M) yang menguraikan dengan sangat memukau aneka penyakit jiwa dan metode penyembuhannya. Penyakit yang diderita manusia ada dua jenis, ujarnya, fisik dan psikis. Kebanyakan kita sangat memperhatikan kesehatan tubuh tetapi jarang peduli dengan kesehatan jiwa. Bagaimana cara mengobati penyakit-penyakit jiwa seperti egoisme, serakah, phobia, iri hati, depresi, waswas, dsb beliau jelaskan dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ ‘Ulumiddin. (Lihat juga: Amber Haque, “Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists,” Journal of Religion and Health 43/4 [2004], hlm 357-77).   
    Di abad modern, upaya-upaya untuk menyelami lautan ilmu psikologi Islam dan “menjual mutiara-mutiara”nya brilian masih terkendala oleh beberapa hal. Selain sikap prejudice terhadap khazanah intelektual Islam di satu sisi, dan sikap fanatik terhadap psikologi Barat modern yang nota bene sekular-materialistik di sisi lain, penguasaan bahasa Arab merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) untuk bisa menjelajahi literatur psikologi Islam yang sangat kaya namun belum terjamah itu. Psikolog muslim tinggal memilih mau terus-terusan merujuk Freud, Skinner, Maslow, Ellis, dsb atau belajar dari para ahli psikologi Islam.
    Penulis: Dr. Syamsuddin Arif